Otonomi Daerah menjadi Sarat Korupsi

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Iwan Taunuzi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Penerapan otonomi daerah sesuai dengan UU No 32/2004 yang merupakan amandemen dari UU 22/1999 sangat kental dengan tindak pidana korupsi.

Demikian dikatakan oleh Azyumardi Azra saat berbicara dalam seminar bertajuk Reposisi Otonomi Daerah Yang Menjamin Pemerintahan Darerah Yang Efektif dan Demokratis di hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.

Betapa tidak, pembentukan daerah-daerah otonom sering terjadi berbarengan dengan pelaksanakan Pilkada. Akibatnya, kian banyak kalangan yang terus mewacanakan perubahan.

“Jika UU No 32/2004 menekankan bahwa pembentukan daerah baru merupakan perlindungan partisipasi politik rakyat, maka gejala yang cukup menonjol dalam Pilkasa adalah meningkatkan manipulasi politik, misalnya dalam bentuk merajalelanya politik uang,” terang mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, Sabtu (31/7/2010).

Kenyataan tersebut terbukti dengan semakin mahalnya biaya Pilkada. Menurut Azyumardi Azra (mengutip dari harian Kompas 24/7/2010), biaya pembiayaan Pilkada dalam masa 2010-2014 mencapai Rp 15 triliun.

Bahkan menurut estimasi Kompas, demikian dikatakan, calon Gubernur diperkirakan membutuhkan 20-100 miliar semntara bupati sebesar Rp 0,5-10 miliar dan walikota antara Rp 0,3-5 miliar.

Hal ini menimbulkan paradoks. Pasalnya, selama 5 tahun masa jabatannya seorang gubernur hanya bakal bisa mengumpulkan akumulasi gaji Rp 510-600 juta; bupati sekitar Rp 300-420 juta dan walikota Rp 300-420 juta.
“Dengan demikian terdapat kecenderungan kuat ‘pengembalian’ modal politik itu dilakukan melalui berbagai bentuk korupsi,”ujarnya.
Hal ini dapat dilihat dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Azyumardi menambahkan, bahwa sejak musim Pilkada berlansung tak kurang dari 40 kepala daerah mulai dari Gubernur sampai walikota menjadi terpidana korupsi.

“Dipihak lain, menurut Sekretariat Negara, sampai 2010 Presiden SBY telah menandatangi 150 surat izin pemeriksaan kepala daerah untuk menjadi tersangka atau saksi kasus korupsi,” tandasnya. (*)

Tentang Ade Suerani

tinggal di Kendari-Sultra, senang membaca ttg pemerintahan daerah. (email: ade.suerani@gmail.com)
Pos ini dipublikasikan di Berita Media. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar